Tuesday 12 June 2012

Tipu daya dunia yang mempesona

SesunDunia_memang_mempesona.jpggguhnya seorang mukmin itu adalah orang yang mengetahui posisi dirinya sebagai orang yang mulia, orang yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, orang yang mempunyai fikiran hati rabbani, dan cita-citanya adalah mencari keridhaan Allah, serta keselamatan di kampung akhirat, oleh karena itu untuk menjaga diri agar tidak sampai terjerumus ke dalam lembah dunia yang menyesatkan, hendaknya diperhatikan perkara-perkara berikut ini:
1.      Waspada terhadap tipuan dan pesona dunia.
Dunia ini merupakan fitnah dan ujian bagi orang-orang yang beriman. Apabila dia tidak memahami prinsip-prinsip hidup mukmin,  maka pasti akan tergoda dan terlena dengannya. Dari itu setiap mukmin haruslah memahami watak dan sifat dunia yang menipu. Di antara sifat dan watak dunia adalah sebagai berikut:
a.       Kesenangan yang memperdaya dan menipu. Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’alaa:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Al-Hadid: 20)
b.      Permainan dan senda gurau. Allah berfirman:
‘’Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui’’. (Al ‘Ankabut : 64)
‘’Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Al-An’am: 32)
c.       Kesenangan sementara dan harga yang sedikit. Allah berfirman:
“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali Imran: 197)
ما الدنيا في الأخرة إلا مثل ما يجعل أحدكم إصبعه فى اليم فلينظربمذا يرجع
“Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seorang memasukkan jari-jari kedalam lautan luas, maka perhatikanlah berapakah dapatnya.” (Muslim)
2.      Hendaklah memandang bahwa dunia dan perhiasannya seluruhnya merupakan ujian Allah kepada manusia.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”.(Al Kahfi: 7)
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”.(Thaha: 131)
“Sesunguhnya dunia ini indah dan manis dan Allah akan menyerahkannya kepada kamu, maka akan melihat bagaimana kamu berbuat padanya, maka berhati-hatilah kamu dari godaan dunia dan hati-hatilah kamu dari godaan wanita.” (Muslim)
3.      Mencari dunia jangan sampai melalaikan ibadah kepada Allah
Tugas pokok manusia, dan tujuan utama mereka diciptakan adalah untuk beribadah kepadanya semata. Allah memerintahkan agar setiap muslim memperhatikan betul tugas pokok tersebut. Renungkanlah firman Allah dan hadits berikut :
‘’Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’’. (At Taubah: 38-39)
“Bila kamu telah berani jual beli dengan ‘inah (dengan cara riba dan penipuan), dan kamu sibuk dengan sapi ternak kamu, kemudian kamu suka dengan pertanian dan perkebunan lalu kamu meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kepada kamu kehinaan, dan kamu tidak mungkin akan lepas dari padanya sehingga kamu kembali kepada dien kamu.” (Ahmad)
Dengan keterangan dari ayat dan hadits di atas cukup kiranya menjadi pelajaran bagi kita kaum muslimin, agar dalam kesibukan mencari karunia Allah di dunia jangan sampai melupakan tugas pokok kita yaitu beribadah kepada Allah, termasuk di dalamnya adalah jihad di jalan Allah. Betapa banyak dari kalangan kaum muslimin hari ini yang mereka disibukkan oleh perdagangan dan pertanian mereka, kemudian mereka melalaikan syari’at jihad fi sabilillah.
4.      Peringatan Rasulullah tentang kehidupan dunia
Jabir Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ketika Rasulullah berjalan di pasar dan dikelilingi orang-orang, mendadak disana bertemu dengan bangkai kambing yang cacat telinganya, lalu Rasulullah mengangkat telinganya dan bertanya, ”Siapakah yang suka membeli ini dengan harga satu dirham? Mereka menjawab, “Tidak ada yang suka dan mau untuk apa? Nabi bertanya: ”Sukakah kalau diberikan kepadamu dengan cuma-cuma saja?” mereka menjawab; ”demi Allah kalau seandainya ia masih hidup, ia pun cacat apalagi ia sudah jadi bangkai” lalu Nabi bersabda: ’’Demi Allah sungguh dunia ini lebih hina dalam pandangan Allah dari pada bangkai ini bagimu.” (Muslim)
Abu Hurairah berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda: ”Ingatlah bahwa dunia itu terkutuk, dan terkutuk pula apa-apa yang ada di atasnya, kecuali dzikrullah atau segala yang serupa atau sederajat dengan itu, dan orang-orang yang berilmu atau yang belajar” (At-Targhib Wat-Tarhib)
Dari Ubay bin Kaab. Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya dunia ini ibarat makanan yang dimakan oleh anak Adam. Perhatikanlah akhirnya, waktu dikeluarkan, dari duburnya meskipun diberi bumbu dan garam akhirnya menjadi kotoran juga.” (Tirmizi)
Demikianlah peringatan Rasulullah berkenaan dengan dunia di hadapan Allah. Akan tetapi sekalipun telah diperingatkan sepert itu, berapa banyak manusia yang terpedaya olehnya dan tenggelam dalam buaian duniawi. Dan beliau juga mengingatkan, bahwa ujian yang paling berat bagi umat islam adalah harta dan wanita. Oleh karena itu hendaklah kita senantiasa memohon kepada Allah agar diselamatkan dari tipu daya dunia, dan tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaannya.
Oleh :ezye

HAL2 YNG DILARANG KETIKA HAID 2

Hal-Hal yang Dilarang Ketika Haid 2 E-mail
Written by Administrator   
Wednesday, 23 May 2012 23:31   |   Dibaca: 319 kali.

yang_dilarang_ketika_haid.jpgPada artikel sebelumnya telah dibahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang telah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Nah, pada kesempatan kali ini akan dibahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang masih menjadi ikhtilaf di kalangan jumhur ulama. Adapun hal-hal yang tidak diperbolehkan dan ada perbedaan pendapat di antara ulama adalah :
 
1.  Membaca Al-Qur’an
 
Apakah wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an? Pernahkah Saudariku mendengar pertanyaan ini? Atau bahkan pertanyaan ini juga ada dalam benak Anda? Atau malah sering mendengar pertanyaan seperti ini. Wa bil khusus dalam kajian-kajian fikih wanita pada pembahasan haid, nifas dan istihadhah. Jawaban yang diberikan pun sepertinya berbeda-beda, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Terkadang perbedaan masalah furu‘ seperti ini membuat para wanita kebingungan untuk memilih dibolehkan atau tidak. Apalagi bagi perempuan yang awwam dan sudah ditanamkan sejak kecil, bahwa wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan untuk membaca Al-Qur’an. Pasti dia merasa tidak nyaman ketika diminta untuk membaca Al-Qur’an di saat haid. Begitu juga sebaliknya, bagi wanita yang sedari kecilnya sudah diberi pemahaman bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an, maka dia akan biasa saja membaca Al-Qur’an walaupun sedang dalam keadaan haid.
 
Ada beberapa ulama yang tidak memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an dan ada beberapa ulama yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Adapun dalil-dalil jumhur ulama yang tidak memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur‘an adalah hadits dari Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar :
 
لاَتَقْرَأُ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ مِنَ القُرْآنِ شَيْئًا
 
“Wanita yang sedang haid dan orang yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.” (HR.At-Tirmidzi)
 
Tapi hadits ini derajatnya dhoif (lemah), karena di dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat bernama Ismail bin ‘Ayyas. Al-Baihaqi berkata : “Hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata : ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Ismail adalah munkar haditsnya, apabila (gurunya) berasal dari Hijaz dan Iraq.
 
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz, maka hadits ini dhoif. (Lihat Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-SabiilI, karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani)
 
Jumhur ulama hadits bersepakat bahwa sanad hadits ini lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al-Qur’an.
 
Adapun pendapat-pendapat yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
Hadits yang tidak memperbolehkan wanita haid dan orang yang sedang junub membaca Al-Qur’an adalah dhaif. Jadi tak mengapa apabila wanita haid membaca AL-Qur’an , karena haditsnya tidak shahih.
 
-  Hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata : “ Aku datang ke Makkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan Sa’I antara Shofa dan Marwa. Aku memberitahu keadaanku itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda :’Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang yang berhaji, kecuali thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadits ini, orang yang sedang haid boleh melakukan apapun kecuali thawaf di Ka’bah ketika berhaji. Dan orang yang berhaji itu berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
 
Jadi, wanita yang haid tetap dibolehkan untuk membaca Al-Qur’an, baik itu dengan murajaah (mengulang hafalan) atau pun membaca Al-Qur’an untuk menghafal atau pun pembelajaran.
 
2. Memegang Mushaf Al-Qur’an
 
Dalam permasalahan memegang mushaf juga terdapat perbedaan. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang tidak memperbolehkan wanita haid memegang mushaf. Perbedaan pendapat itu berasal dari perbedaan penafsiran surat Al-Waqiah ayat 79 :
 
لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
 
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
 
Ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan dhamir (kata ganti) hu dalam kata laa yamassuhu. Pendapat pertama, apabila dhamir hu yang dimaksud adalah Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfuzh.Maka maksud dari orang-orang yang disucikan di sini adalah malaikat. Maka wanita yang sedang haid boleh menyentuh mushaf Al-Qur’anyang ada di bumi.
 
Pendapat kedua, apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu  maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan adalahorang-orang Islam. Karena semua orang Muslim suci dari kemusyrikan dan kekufuran. Maka yang tidak boleh menyentuhnya adalah orang-orang kafir yang tidak ber-Islam.
 
Pendapat ketiga, apabila dhamir hu yang dimaksud dalam laa yamassuhu adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Kemudian yang maksud dari orang-orang yang disucikan adalah orang-orang yang suci dari hadats besar atau kecil. Oleh karena itu orang-orang yang belum bersuci dari hadats besar atau kecil tidak diperbolehkan memegang mushaf. Pendapat ketiga ini diperkuat dengan hadits dari Abi Bakar bin Muhammad bin ’Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman yang di dalamnya terdapat tulisan :
 
لا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
 
”Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.“ (HR. Al-Atsram dan Daruquthni)
 
Sanad hadits ini dhaif , karena sebagian sanadnya dhaif dan sebagiannya riwayat shahifah (lembaran) yang tidak ada sanadnya. Namun Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill.
 
Dan pendapat yang keempat, apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan adalah orang-orang yang suci dari hadats besar. Maka wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an, tetapi diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur’an yang terjemahan atau ada tafsirnya.
 
Adapun pendapat-pendapat yang memperbolehkan wanita haid menyentuh mushaf adalah ayat di atas kurang sempurna untuk dijadikan dalil, kecuali setelah ditambah dengan ayat sebelumnya, yaitu :
 
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ (79)
 
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77) pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh) (78), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (79)”
 
Berdasarkan ayat-ayat di atas, mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa kata ganti hu pada kata laa yamassuhu di atas merujuk kepada kitab yang tersimpan di langit, yaitu Lauhul Mahfuzh. Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, yaitu kitab yang ada di langit. Sedangkan yang dimaksud dengan Al-Muthaharuun (orang-orang yang disucikan) adalah para malaikat.
 
Adh-Dhahak berkata :”Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad shalallahu ’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya. (Lihat Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari)
 
Hal ini diperkuat juga dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat ‘Aabasaa ayat 13-16 :
 
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16)
 
“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (13) yang ditinggikan lagi disucikan (14) di tangan para penulis (malaikat) (15) yang mulia lagi berbakti (16)
 
Dalam Naylul Author milik Imam Asy-Syaukani, Kitab Thoharoh, Bab Iijabi Al-Wudhu’ lii Ash-Sholati wa Ath-Thowaf wa massu Al-Mushaf disebutkan :”Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mukmin selamanya bukan orang yang najis, berdasarkan hadits Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam :
 
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
 
“Orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
 
Maka kurang pas apabila arti (hamba) yang disucikan adalah orang yang tidak junub, haid, atau pun orang yang sedang berhadats. Karena orang Islam suci dan tidak najis, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 28 :
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
 
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,“
 
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam juga melarang bepergian membawa mushaf ke negeri musuh (kafir). Di samping itu, lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut dalam bentuk isim maf’ul yaitu al-muthoharuun (orang-orang yang disucikan) bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu keduanya memiliki makna dan maksud yang berbeda.
 
Wanita yang sedang haid boleh membawa mushaf Al-Qur’an tanpa harus menyentuhnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa dia melihat wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an di dalam gendongannya :
 
وَكَانَ أَبُو وَائِلٍ يُرْسِلُ خَادِمَهُ وَهْىَ حَائِضٌ إِلَى أَبِى رَزِيْنٍ, فَتَأْتِيهِ بِالمُصْحَفِ فَتُمسِكُهُ بِعِلاَقَتِهِ
 
“Abu Wail mengutus pembantunya yang sedang haid menemui Abu Razi, kemudian dia membawa mushaf di dalam ikatan yang menghubungkan dengan keranjangnya (membawa barang yang digendong).” (HR. Bukhari)
 
Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang junub dan wanita sedang haid atau nifas diperbolehkan memegang mushaf yang ada terjemahnya atau ada tafsirnya. Sesuai dengan hadits tentang wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an digendongannya. Juga untuk menghormati mushaf Al-Qur’an dengan tidak memegangnya secara langsung dalam keadaan junub, haid, atau pun nifas, seperti menggunakan sarung tangan ketika menyentuh mushaf.
 
Nah, itulah hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang masih menjadi ikhtilaf di kalangan jumhur ulama. Tetep nggak ada kan larangan wanita haid tidak boleh memotong kuku, mencuci rambut, apalagi tidur siang?
Wallahu ta’ala a’lam
 
Sumber :
- Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
- Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Tamamu Al-Minah fii At-Ta’liiq alaa Fiqh As-Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Naylu Al-Author, Imam Asy-Syaukani
- Fiqhu Al-Mar’ah Al-Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin
- Darah Kebiasaan Wanita, Ustadzah Ainul Millah, Lc
 
By :EZYE

HAL2 YANG DILARANG KETIKA HAID


yang_dilarang_ketika_haid.jpg“Wanita haid itu nggak boleh potong kuku!”
“Perempuan yang lagi haid nggak boleh keramas lho!”
“Eh… kamu lagi haid ya? Kalau lagi haid itu nggak boleh tidur siang lho!”
Pasti saudariku pernah mendengar mitos-mitos seperti ini ketika sedang haid. Ada yang bilang kalau sedang haid tidak boleh memotong kuku lah, mencuci rambut lah, memotong rambut lah, sampai nggak boleh tidur siang. Bener nggak sih mitos-mitos itu?
Islam adalah agama yang syumul (sempurna) yang mengatur tidak hanya masalah peribadatan tapi sampai hal-hal terkecil dan sepele pun ada aturannya. Begitu juga dengan masalah haid, semuanya sudah termaktub dalam Al-Qur’an yang diperkuat oleh As-Sunnah. Dari mulai ciri-ciri darah haid, sampai hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika sedang haid. Jadi Saudariku, tidak perlu lagi berpusing-pusing ria sama mitos-mitos yang belum jelas kevalidan dan keshohihannya.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid sendiri ada yang sudah menjadi kesepakatn ulama, dan ada pula yang masih khilaf. Namun pada pembahasan kali ini, penulis hanya akan membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Adapun larangan yang sudah menjadi kesepakatan ulama bagi wanita haid adalah sebagai berikut :
1.       Dilarang melakukan sholat dan tidak diwajibkan untuk mengqadhanya
Perempuan yang sedang haid, lepas kewajibannya untuk mengerjakan sholat, baik itu sholat fardhu maupun sholat sunnah. Dan tidak diwajibkan juga untuk mengqadha sholat, kecuali jika telah masuk waktu sholat tetapi belum melaksanakan sholat kemudian keluar darah haid. Maka wajib baginya untuk mengqadha sholat tersebut. Misalkan Tina belum sempat mengerjakan sholat Dhuhur, padahal waktu sudah mendekati Ashar, kemudian dia mendapatkan haid. Maka wajib bagi Tina untuk mengqadha sholat Dhuhur tersebut ketika ia telah suci.
Dan apabila wanita haid telah suci mendekati waktu Ashar, kemudian ketika ia mandi waktu Ashar tiba. Maka wajib hukumnya bagi wanita itu untuk mengerjakan sholat Dhuhur dan Ashar pada hari itu. Sama halnya ketika ia suci sebelum terbit fajar, ia berkewajiban untuk mengerjakan sholat Maghrib dan Isya pada malam harinya. Karena, waktu sholat yang kedua adalah waktu sholat yang pertama pada saat-saat uzur.
Jumhur ulama berpendapat –di antaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad- jika seorang wanita suci dari haid pada akhir siang, maka dia sholat Dhuhur dan Ashar. Dan apabila suci pada akhir malam, maka dia sholat Maghrib dan Isya. Seperti yang dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena waktunya sama di antara dua sholat saat uzur. Maka apabila ia suci di akhir siang, lalu waktu Dhuhur masih ada, maka ia mengerjakan sholat Dhuhur sebelum Ashar. Jika ia suci pada akhir malam, lalu sholat Maghrib masih pada saat uzur, maka ia mengerjakan sholat Maghrib sebelum Isya. (Lihat Majmu’ Al-Fatawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah)     
2.       Dilarang melakukan shaum dan diwajibkan untuk mengqadha shaum
Perempuan yang sedang haid juga diharamkan untuk shaum, baik itu yang wajib maupun yang sunnah. Dan diwajibkan untuk mengqadha shaum yang wajib (shaum Ramadhan) yang ditinggalkannya karena haid. Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
أَلَيْسَتْ إِحْدَاكُنَّ إِذَا حَاضَتْ لاَ تَصُوم وَلاَ تُصَلِّي
“Bukankah salah seorang di antara kamu (wanita) apabila memasuki masa haid tidak sholat dan tidak pula puasa?” (HR. Bukhari)
قَالَتْ عَائِشَة رَضِيَ الله عَنْهَا: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ» متفق عليه
‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata : “Kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat.” (HR. Muslim)
Apabila seorang wanita haid ketika sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sekalipun hal itu terjadi menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu apabila itu puasa wajib. Namun, jika hanya merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, menurut pendapat yang rajih puasanya sah dan tidak batal. Karena darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya.
Begitu juga apabila suci menjelang fajar dan telah berniat untuk berpuasa, maka puasanya sah. Syarat sahnya puasa itu tidak tergantung pada mandinya, tidak seperti sholat. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Hal ini berdasarkan haidts ’Aisyah radhiyallahu ’anha yang mengatakan :
”Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan, Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan junub karena jima‘, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa Ramadhan.“ (HR. Muttafaq ’alihi)
3.       Dilarang melakukan thawaf
Wanita yang sedang haid juga dilarang untuk melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam kepada ’Aisyah ketika ia sedang haid :
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجَّ غَيْرَ ألَّا تَطُوفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Lakukanlah segala yang dilakukan oleh orang yang berhaji. Hanya saja, engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR.Bukhari)
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa’i antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah. Dan selain itu tidak diharamkan.
4.       Dilarang melakukan hubungan seksual
Seorang istri yang sedang haid dilarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Dan si istri yang sedang haid dilarang untuk menutup-nutupi keadaan dirinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 222 :
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran", oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam juga menyebutkan larangan menggauli istri yang sedang haid dalam haidts beliau :
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْئٍ إِلَّا النِّكاحَ
“Lakukanlah apa saja kecuali berhubungan seksual.”
Maksud dari kata nikah di sini bukanlah akad nikah, tetapi hubungan suami-istri atau jima’. Jumhur ulama juga sepakat atas diharamkannya menggauli istri yang sedang haid. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Menyetubuhi wanita nifas sama hukumnya dengan menyetubuhi wanita haid, yaitu haram menurut kesepakatan ulama.”
5.       Dilarang dijatuhi talak (cerai)
Seorang suami dilarang menjatuhi menceraikan istrinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذا طَلَّقْتُمُ النِّساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)….”
Maksud adalah seorang istri ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah. Hal ini hanya dapat dilakukakn jika istri dalam keadaan suci dan belum digauli lagi. Masalahnya, seorang wanita jika dicerai dalam keadaan haid, ia tidak siap menghadapi iddahnya, karena haid yang dialaminya pada saat jatuhnya talak itu tidaklah terhitung iddah. Jadi menjatuhi talak kepada istri yang sedang haid, haram hukumnya.
Nah, itu dia hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Nggak ada kan larangan-larangan untuk memotong kuku, mencuci rambut, memotong rambut, apalagi tidur siang! Insya Allah pada pembahasan selanjutnya akan penulis bahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang terdapat perbedaan di  antara jumhur ulama (khilafiy).
Wallahu a’lam bishowab
Sumber : Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al 'Utsaimin
-          Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa', Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsamin
-          Majmu‘ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-          Su’al wa Jawab fii Ahkami Al-Haid, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsamin
-          Darah Kebiasaan Wanita, Ustadzah Ainul Millah, Lc
by:ezye

Friday 8 June 2012

Jangan Remehkan Dosa Kecil


Jangan_Remehkan_Dosa_Kecil_s.jpgDi antara ketentuan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa yang berlaku atas segenap hamba-Nya adalah menjadikan mereka tempatnya berbuat kesalahan dan kekhilafan, serta tempat ketidak sempurnaan dan kekurangan. Hal tersebut berfungsi untuk menjelaskan sifat kurang pada makhluk dan sifat kesempurnaan bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, kebutuhan makhluk kepada-Nya dan ketidak butuhan Allah kepada mereka.
Meskipun demikian, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa senantiasa membuka pintu kembali kepada-Nya, di kala mereka terjerumus ke dalam kemaksiatan dan kesalahan. Manusia sering kali melakukan kesalahan dan kekhilafan, lalu ia menyesal dan menangis. Karena penyesalan itu, ia berhak mendapatkan nikmat yang paling agung yaitu ampunan-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: “Sungguh mengagungkan perkara orang mukmin itu, Allah tidak menentukan (qadha) kecuali hal itu baik baginya”. (HR. Ahmad). “apakah ini termasuk qadha’ kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba?” beliau menjawab: ”ya, namun dengan syaratnya, berupa penyesalan, taubat, istighfar dan merasa berdosa di hadapan-Nya”.
Dosa yang dilakukan oleh manusia banyak jenis dan ragamnya, baik kemaksiatan jawarih maupun kemaksiatan yang dilakukan oleh hati mereka. Sebagian dari mereka segera menyesal dan bertaubat tatkala berbuat dosa, namun tidak jarang juga yang justru berbangga dengan kemaksiatan tersebut wal ‘iyyadzu billah. Ada yang menganggap dosa yang mereka perbuat begitu besar dan begitu menyesakkan dada meskipun itu adalah dosa kecil namun sebaliknya ada pula yang menganggap dosanya sebagai dosa yang kecil walaupun pada hakikatnya itu adalah termasuk dosa besar.
Sebenarnya kita tidak boleh memandang dan menganggap bahwa ini adalah dosa besar dan ini dosa kecil kemudian meremehkannya, yang harus dan mesti kita perhatikan adalah siapakah yang kita maksiati. Bilal bin Sa’d Rahimahullah berkata, ”janganlah kalian melihat kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah keagungan yang kamu durhakai”.
Dosa-dosa yang dilakukan oleh umat manusia memang tidak berada dalam satu tingkatan dan kandungan. Semua dosa dengan berbagai bentuk dan ragamnya kembali kepada dua hal:
Bentuk pertamakabaa-ir” (dosa-dosa besar), yaitu setiap dosa yang telah ditentukan “had”nya di dunia atau diancam di akhirat kelak.
Bentuk kedua adalah “shoghoo-ir” (dosa kecil), yaitu setiap dosa yang tidak masuk dalam kategori dosa besar. Tidak ada patokan utuk memasukkannya ke dalam dosa besar karena memang bukan bagian darinya.
Namun bagi kita sebagai seorang mukmin tidak boleh lantas meremehkan sebuah dosa dengan mengatakan bahwa ini adalah dosa kecil, sebab dalam kondisi-kondisi tertentu dosa kecil dapat berubah menjadi dosa besar. Dosa-dosa kecil akan  berubah menjadi dosa besar dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
Pertama: ishrar (terus menerus) dan muwazhabah (terbiasa)
Makna ishrar adalah ketagihan dalam melakukan kemaksiatan. Artinya kemaksiatan tersebut sering dilakukannya. Allah subhanahu wa ta’alaa lebih cepat mengampuni dosa besar yang disudahi dan tidak diulangi lagi dari pada dosa kecil yang dibiasakan dan terus menerus dilakukan seseorang.
Kedua: meremehkan dosa
Seberapa peremehan seseorang terhadap dosa, maka dosa tersebut bertambah besar di sisi Allah ta’alaa. Dan setiap kali seseorang mengangggap besar sebuah dosa, maka dosa tersebut akan dipandang kecil oleh Allah ta’ala. Sebab, seseorang yang menganggap remeh sebuah dosa, tentu dalam hatinya tidak ada rasa pengagungan terhadap Allah ta’ala serta tidak ada perhatian terhadap kekuasaan dan kemulian-Nya. Maka balasannya adalah kebalikannya (yaitu dosa tersebut bernilai besar di sisi Allah ta’ala).
Barang siapa memandang besar sebuah dosa sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah ta’ala dan perhatiannya terhadap kebesaran-Nya, maka kemaksiatannya akan menjadi kecil di sisi Allah ta’ala. Sebab orang yang melakukan hal ini senantiasa akan memandang keagungan kepada siapa ia berbuat kemaksiatan dan tidak melihat kepada kadar kemaksiatannya. Berbeda halnya dengan yang pertama.
Ibnu Mas’ud berkata “Sesungguhya orang mukmin itu melihat dosa-dosanya, seakan-akan dia sedang berada di kaki gunung. Dia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan sesungguhnya orang yang durhaka itu melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya, lalu dia berkata, ‘cukup begini saja’.” maksudnya cukup dengan menepiskan tangannya.
Ketiga: Merasa bangga dengan perbuatan dosa dan mengharap pujian atas perbuatan tersebut.
Seharusnya seorang hamba itu merasa berada dalam musibah disebabkan ia dikalahkan oleh musuhnya dan karena jauh dari Allah ta’ala. Bila seseorang yang berbuat maksiat merasakan manisnya perbuatan dosa kecil, maka dosa tersebut akan menjadi dosa besar dan dampaknya pun juga besar dalam membutakan hatinya.
Keempat: terang-terangan melakukan perbuatan dosa.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كل الناس معافى إلا المجاهرين يبيت أحدهم على ذنب قد ستره الله عليه فيصبح فيكشف ستر الله ويتحدث بذنبه
“Semua manusia yang berbuat dosa akan diampuni, kecuali yang terang-terangan (melakukan dosa). Yaitu salah seorang dari kalian melakukan dosa padahal Allah telah menutupi aibnya, namun kemudian di pagi harinya ia membukanya dan memperbincangkan dosanya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kelima: dosa tersebut muncul dari seorang alim yang dijadikan panutan.
Bila diketahui ada seorang alim yang melakukan perbuatan dosa meskipun itu adalah dosa kecil maka akan menimbulkan keburukan yang besar. Karena perbuatan dosa tersebut akan dijadikan sebagai pembenaran dan akan ditiru oleh mereka yang memang suka terhadap kemaksiatan. Tentu saja hal itu akan menimbulkan keburukan yang sangat besar. Dalam sebuah hadits disebutkan:
من سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها لا ينقص من أوزارهم شيئا
“Barang siapa yang membuat contoh yang buruk, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut dan dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (Muslim).
Ibnu Abbas mengatakan: “Kecelakaan bagi orang alim yang memiliki pengikut. Ketika ia tergelincir dalam kesalahan lantas ia rujuk kembali (dari kesalahannya tersebut) akan tetapi para pengikutnya masih pergi membawa (meniru) kesalahan tersebut ke segala penjuru.”
Bila seorang alim tergelincir dalam sebuah dosa, maka hendaklah ia berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikannya dari pandangan manusia dan tidak menampakkannya. Sehingga tidak dijadikan alasan bagi orang lain untuk meremehkan perbuatan dosa tersebut. Namun seorang alim berkewajiban untuk menjauhi sebisa mungkin semua jenis dosa, baik yang besar maupun yang kecil.
Ya Allah, ampunilah kami dan terimalah taubat kami, sesungguhnya engkau maha pengampun lagi maha penerima taubat. Semoga Allah melimpah shalawat dan salam-Nya kepada penghulu kami dan nabi kami Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Sumber: 1. Minhajul Qasidin, ibnu Qudamah
                2. Kunci Istiqamah, Abdullah bin Sulaiman Al-‘Utayyiq
Oleh : Al-faqir ila ‘afwi rabbih Abu Hadfi Al-firdaus

Thursday 7 June 2012

ezye




tanda-tanda munafik

Kemunafikan seseorang tidak bisa dideteksi oleh manusia, namun ada tanda-tanda tentangnya. Penyajian hadist ini dimaksudkan agar kita semua waspada terhadap tanda-tanda ini, khususnya bagi diri kita sendiri. Ketika ada salah satu tanda tersebut ada dalam diri kita, maka segera kita perbaiki diri kita. Munafik adalah orang yang mengaku beriman, padahal hatinya menolak. Oleh karena munafik itu masalah hati, maka tak seorang pun yang bisa secara pasti mengetahuinya. Namun, melalui tanda-tanda yang disebutkan di dalam hadist di bawah ini kita bisa memperkirakan diri dan orang lain cenderung ke sifat munafik atau tidak. Sekali lagi hanya mampu memprediksi (kira-kira). Yang mampu menilai orang itu menafik atau tidak secara pasti hanyalah Allah dan Rasul-Nya serta sahabat Rasul yang mendapat informasi dari Rasulullah. Berikut hadistnya.
Hadits Shahih Bukhari ke-33:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّصلى الله عليه وسلمقَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat”
Hadits Shahih Bukhari ke-34:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّصلى الله عليه وسلمقَالَ « أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, “Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya: Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji.

munafik adalah


Watak Munafik
Ilustrasi
 
 
Salah satu ciri watak munafik adalah tidak menempati janji, berkata dusta, dan amanahnya selalu dikhianati (HR Muslim). Mereka melakukan semua itu demi menyelamatkan diri dari yang ditakutkan. Mereka itu takut ditahan, disiksa, dan dibunuh. Begitu pula harta benda dan jabatannya: takut hilang! Sehingga mereka rela berdusta, ingkar janji, khianat, menipu, memanipulasi, dan mengubah kebencian yang sangat di dalam hati menjadi tampak sikap santun pada penampilannya.

Ketakutan mereka seperti takutnya seseorang mendengar guruh dan petir tatkala ditimpakan hujan lebat yang sangat disertai gelap gulita, guruh, dan banyak kilatan (QS 2: 19-20). Posisinya dihantui rasa takut yang sangat mencekam dalam hati dan selalu berada dalam ketakutan yang sangat dan mengerikan. Untuk menghapus rasa takut yang akut tersebut dan sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya (QS 9: 57). Mereka itu takut, sehingga mereka bersumpah atas nama Allah SWT (QS 9: 56) untuk dijadikan sebagai perisai (QS 63: 2).

Mereka mengira bahwa dengan menampakkan seakan-akan diri mereka beriman dan sependirian dengan setan-setan apabila berpaling (QS 2: 14), tak lain supaya mendapatkan kebaikan di antara keduanya dan bermaksud sebagai penengah di antara kaum mukmin dan golongan kuffar (QS 4: 62). Dengan sikap demikian, harapannya ingin mendapatkan ketenangan, keamanan, dan perlindungan: diri, harta dan jabatannya.

Benar saja, Allah SWT mengabulkan keinginan mereka di dunia, yakni darah mereka terpelihara, begitu pula harta bendanya. Oleh karenanya, Rasulullah SAW membiarkan hidup dan tidak membunuh Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul (tafsir Ibnu Katsir QS 2: 8-10). Padahal, mereka penantang kaum mukmin yang paling keras (QS 2: 204), penimbul kemudharatan dan pemecah belah antara orang-orang mukmin (QS 9: 107), menghalangi manusia dari jalan Allah SWT (QS 63:2), dan selalu mengolok-olok (QS 2: 14-15, 9: 64).

Posisi mereka yang kontroversi ini, tak mungkinlah menyatukan dua warna yang bertolak-belakang. Jika warna putih disatukan dengan warna hitam maka namanya tidak lagi warna putih ataupun warna hitam, dia menjadi nama warna sendiri yakni abu-abu. Sehingga kondisi mereka, di pagi hari berada dalam golongan muslim sedangkan di petang harinya menjadi sahabat golongan kafir. Begitu pula sebaliknya, di petang hari bersikap suatu keadaan sedangkan di pagi harinya dalam sikap suatu keadaan lain. Jadi, mereka tak berpendirian, tidak punya pegangan, plin-plan, tulalit, bimbang, dan ragu-ragu. Bagaikan perahu yang terombang-ambing ditiup angin yang sangat kencang, dan hanya bersikap mengikuti arah angin. Terombang-ambing dalam kemunafikannya. Manakala mereka beroleh manfaat dari kejayaan Islam, mereka merasa tenang, tetapi bila Islam tertimpa cobaan, mereka bangkit kembali kepada kekufuran (QS 22: 11).

Jadi, memang pantas mereka digelari manusia bodoh, lemah pendapatnya, dan sedikit pengetahuan (QS 2: 13). Mereka bodoh karena tidak mengetahui maslahat dan mudaratnya menjadi manusia munafik. Kebodohan mereka itu sangat keterlaluan hingga tidak menyadari kebodohannya sendiri, bahwa sebenarnya keadaan mereka dalam kesesatan dan kebodohan. Naudzubillahi mindzalik. Semoga kita semua terhindak dari sikap yang demikian.

Wednesday 6 June 2012

ASAL MUASAL BRA/KUTANG


Bra merupakan kebutuhan wajib untuk wanita. Tapi apakah anda kepikiran untuk bertanya "bagaimanakah asal muasal bra ???
Pemakaian kutang/bra dimulai sejak abad ke-3 ketika para perempuan Romawi membebatkan semacam perban untuk membungkus dada mereka saat berolahraga.
Cikal-bakal bra seperti yang kita kenal sekarang diluncurkan kali pertama di Paris, Prancis, pada 1889. Desain bra modern itu dibuat oleh seorang pengusaha pakaian bernama Herminie Cardolle. Bentuknya masih menyerupai korset, pendahulu bra. Bedanya, Cardolle membagi pakaian dalam perempuan itu menjadi dua bagian, perut dan dada. Brassiere yang merupakan akar kata dari bra kali pertama digunakan oleh majalah Vogue pada 1907.
Meski cikal-bakalnya sudah ada, perempuan di masa itu lebih memilih mengenakan korset. Kebiasaan ini sempat hilang ketika Perang Dunia I. Pasalnya, industri militer negara-negara yang terlibat perang, membutuhkan banyak logam untuk memproduksi peralatan perang. Logam pada korset harus dialih-fungsikan untuk kebutuhan yang dianggap jauh lebih mendesak itu.
Pada 1917, Bernard Baruch, Ketua Dewan Industri Perang Amerika secara khusus meminta para perempuan untuk meninggalkan kebiasaan mereka mengenakan korset. Pemakaian korset pada dasarnya membahayakan kesehatan. Meski membentuk tubuh seorang perempuan sesuai standar kecantikan di masa itu, korset membuat susah bernapas, dan pada beberapa kasus ekstrim menyebabkan terjadinya dislokasi organ. Tak sulit bagi perempuan untuk meninggalkan kebiasaan yang sungguh menyiksa tersebut. Hasilnya, sebanyak 28.000 ton logam berhasil “dialih-fungsikan” untuk keperluan industri perang. Jumlah itu cukup untuk membuat dua buah kapal perang besar.
Perempuan harus menemukan alternatif untuk membungkus dada mereka. Pada saat inilah Mary Phelps Jacob, seorang sosialita Amerika, mulai memperkenalkan bra modern yang pertama pada 1910. Jacob bermaksud menghadiri sebuah pesta besar dengan mengenakan sebuah gaun malam tipis berpotongan dada rendah. Rangka korset dari tulang ikan hiu yang hendak dikenakannya mengganggu keindahan gaun yang dipersiapkan sejak jauh hari.
Bersama salah seorang pelayannya, dia membuat pakaian dalam dari dua saputangan sutra yang disatukan dengan pita merah muda. Desain ini kemudian menjadi populer di lingkaran pergaulan Jacobs dan kemudian dipatenkan pada 1914.
Tren fashion kemudian bergeser dari bentuk tubuh montok (yang dimodifikasi dengan menggunakan korset) ke bentuk tubuh kurus dengan dada rata. Gaya yang dianggap modern saat itu adalah gaya busana perempuan yang dibuat praktis tanpa menggunakan banyak bahan dan membuat perempuan lebih mudah bergerak. Pergeseran tren ini diikuti kian aktifnya perempuan di berbagai lapangan pekerjaan. Perempuan yang mengikuti fashion, yang dianggap mencerminkan pemberontakan itu, kemudian lazim disebut flapper.
Bra dengan bentuk modern ini kemudian mulai diproduksi secara massal pada 1920-аn. Tapi produksi masal itu belum memperhatikan ukuran individual masing-masing perempuan.
Barulah pada 1922 perempuan bisa mengenakan kutang dengan lebih nyaman ketika Ida dan William Rosenthal merevolusi bentuk bra. Mereka menciptakan ukuran baku bra yang terdiri dari lingkar linear rusuk dan ukuran volume dada (cup size) dengan menggunakan abjad (A, B, C, D, dan seterusnya). Ukuran A sama dengan delapan ons cairan, sementara B setara dengan 13 ons, dan C sama dengan 21, dan seterusnya. Ida dan William kemudian mendirikan perusahaan bra Maidenform yang beroleh kesuksesan luar biasa dan menjadikan pasangan Rosenthal jutawan. Maidenform masih berdiri hingga sekarang.
Bra menjadi bagian dari busana sehari-hari perempuan hingga muncul revolusi pemikiran tentang peran perempuan. Di Amerika, revolusi ini dimulai ketika buku Feminine Mystique karya Betty Friedan terbit pada 1963. Buku itu mempertanyakan peran perempuan, yang seolah dikembalikan ke ranah domestik oleh sistem masyarakat ketika itu.
Hal ini berlanjut hingga 1970-аn di mana protes atas ikon-ikon yang dianggap mengekang perempuan dipertanyakan oleh kaum feminis. Germaine Greer, salah seorang feminis intelektual, menyatakan bahwa, “Bra adalah sebuah ciptaan yang menggelikan.”
Sebagai dukungan atas pemikiran itu, banyak perempuan memutuskan untuk tak lagi mengenakan bra. Sedikit banyak hal ini cukup memukul industri bra. Ida Rosenthal, sang industrialis pakaian dalam, hanya menjawab dengan santai, “Kita adalah sebuah demokrasi. Sah-sah saja kalau orang berpakaian atau telanjang. Tapi setelah usia 35, bentuk tubuh perempuan tak mendukungnya untuk tidak mengenakan bra. Waktu berpihak kepada saya.” Belakangan kata-kata Ida itu terbukti ada benarnya.
Meski sempat mengalami hambatan, industri bra terus berkembang. Apalagi ketika Madonna mengenakan sebuah kostum bra yang meruncing di bagian dada. Kostum itu dibuatkan khusus oleh perancang Prancis Jean-Paul Gaultier untuk tur Blonde Ambition pada 1990.
Pada awal abad ke-19, menutup dada belum jadi kelaziman di Indonesia. Kebiasaan mengenakan kutang diperkenalkan Belanda. Dalam novelnya, Pangeran Diponegoro, Remy Sylado menjelaskan asal-muasal istilah kutang.
Saat itu, dalam proyek pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan, Belanda mempekerjakan budak perempuan dan laki-laki. Don Lopez, seorang pejabat Belanda, melihat budak perempuan bertelanjang dada. Dia kemudian memotong secarik kain putih dan memberikannya kepada salah seorang di antara mereka sembari berkata dalam bahasa Prancis: “tutup bagian yang berharga (coutant) itu.” Berkali-kali dia mengatakan “coutant.. coutant” yang kemudian terdengar sebagai kutang oleh para pekerja.
Di berbagai negara bra/BH disebut dengan cara berbeda-beda. Di Prancis penahan dada itu disebut soutien-gorge (penopang tenggorokan), di Spanyol sujetar (menopang). Di Jerman bustenhalter, di Swedia bysthallare, dan di Belanda bustehouder–semuanya berarti penopang dada. Sementara dalam bahasa Esperanto (Rusia) bra disebut mamzono yang artinya sabuk dada.

Rasulullah SAW Pingsan Mend Rasulullah SAW Pingsan Mendengar Keterangan Neraka Jahanam engar Keterangan Neraka Jahanam


Segeralah bertaubat. Yazid Arraqqasyi dari Anas bin Malik ra. berkata: Jibril datang kepada Nabi saw pada waktu yg ia tidak biasa datang dalam keadaan berubah mukanya, maka ditanya oleh nabi s.a.w.: “Mengapa aku melihat kau berubah muka?”

Jawabnya: “Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yg mengetahui bahwa neraka Jahannam itu benar, dan siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu benar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman dari padanya.”

Lalu nabi s.a.w. bersabda: “Ya Jibril, jelaskan padaku sifat Jahannam.” Jawabnya: “Ya. Ketika Allah menjadikan Jahannam, maka dinyalakan selama seribu tahun, sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun sehingga putih, kemudian seribu tahun sehingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan terbuka sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar penduduk dunia semuanya kerana panasnya.

Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi kerana panas dan basinya. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan satu pergelangan dari rantai yg disebut dalam Al-Qur’an itu diletakkan di atas bukit, niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yg ke tujuh.

Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan seorang di ujung barat tersiksa, niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung timur kerana sangat panasnya, Jahannam itu sangat dalam dan perhiasannya besi, dan minumannya air panas campur nanah, dan pakaiannya potongan-potongan api. Api neraka itu ada tujuh pintu, tiap-tiap pintu ada bagiannya yang tertentu dari orang laki-laki dan perempuan.”

Nabi s.a.w. bertanya: “Apakah pintu-pintunya bagaikan pintu-pintu rumah kami?” Jawabnya: “Tidak, tetapi selalu terbuka, setengahnya di bawah dari lainnya, dari pintu ke pintu jarak perjalanan 70,000 tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain 70 kali ganda.” (nota kefahaman: yaitu yg lebih bawah lebih panas)

Tanya Rasulullah s.a.w.: “Siapakah penduduk masing-masing pintu?” Jawab Jibril:
“Pintu yg terbawah untuk orang-orang munafik, dan orang-orang yg kafir setelah diturunkan hidangan mukjizat nabi Isa a.s. serta keluarga Fir’aun, namanya Al-Hawiyah.
Pintu kedua tempat orang-orang musyrikin bernama Jahim,
Pintu ketiga tempat orang shobi’in bernama Saqar.
Pintu ke empat tempat Iblis dan pengikutnya dari kaum majusi bernama Ladha,
Pintu kelima orang yahudi bernama Huthomah.
Pintu ke enam tempat orang nashara bernama Sa’eir.”

Kemudian Jibril diam, segan pada Rasulullah s.a.w. sehingga ditanya: “Mengapa tidak kau terangkan penduduk pintu ke tujuh?” Jawabnya: “Di dalamnya orang-orang yg berdosa besar dari ummatmu yg sampai mati belum sempat bertaubat.”

Maka nabi s.a.w. jatuh pingsan ketika mendengar keterangan itu, sehingga Jibril meletakkan kepala nabi s.a.w. di pangkuannya sehingga sadar kembali dan sesudah sadar nabi saw bersabda: “Ya Jibril, sungguh besar kerisauanku dan sangat sedihku, apakah ada seorang dari ummat ku yang akan masuk ke dalam neraka?” Jawabnya: “Ya, yaitu orang yg berdosa besar dari ummatmu.”

Kemudian nabi s.a.w. menangis, Jibril juga menangis, kemudian nabi s.a.w. masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang kemudian kembali dan tidak berbicara dengan orang dan bila sembahyang selalu menangis dan minta kepada Allah.