Meskipun demikian, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa
senantiasa membuka pintu kembali kepada-Nya, di kala mereka terjerumus
ke dalam kemaksiatan dan kesalahan. Manusia sering kali melakukan
kesalahan dan kekhilafan, lalu ia menyesal dan menangis. Karena
penyesalan itu, ia berhak mendapatkan nikmat yang paling agung yaitu
ampunan-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai sabda Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam: “Sungguh mengagungkan perkara orang mukmin itu, Allah
tidak menentukan (qadha) kecuali hal itu baik baginya”. (HR. Ahmad). “apakah ini termasuk qadha’ kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba?” beliau menjawab: ”ya, namun dengan syaratnya, berupa penyesalan, taubat, istighfar dan merasa berdosa di hadapan-Nya”.
Dosa yang dilakukan oleh manusia banyak jenis dan ragamnya, baik kemaksiatan jawarih
maupun kemaksiatan yang dilakukan oleh hati mereka. Sebagian dari
mereka segera menyesal dan bertaubat tatkala berbuat dosa, namun tidak
jarang juga yang justru berbangga dengan kemaksiatan tersebut wal ‘iyyadzu billah.
Ada yang menganggap dosa yang mereka perbuat begitu besar dan begitu
menyesakkan dada meskipun itu adalah dosa kecil namun sebaliknya ada
pula yang menganggap dosanya sebagai dosa yang kecil walaupun pada
hakikatnya itu adalah termasuk dosa besar.
Sebenarnya kita tidak boleh memandang
dan menganggap bahwa ini adalah dosa besar dan ini dosa kecil kemudian
meremehkannya, yang harus dan mesti kita perhatikan adalah siapakah yang
kita maksiati. Bilal bin Sa’d Rahimahullah berkata, ”janganlah kalian melihat kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah keagungan yang kamu durhakai”.
Dosa-dosa yang dilakukan oleh umat
manusia memang tidak berada dalam satu tingkatan dan kandungan. Semua
dosa dengan berbagai bentuk dan ragamnya kembali kepada dua hal:
Bentuk pertama “kabaa-ir” (dosa-dosa besar), yaitu setiap dosa yang telah ditentukan “had”nya di dunia atau diancam di akhirat kelak.
Bentuk kedua adalah “shoghoo-ir”
(dosa kecil), yaitu setiap dosa yang tidak masuk dalam kategori dosa
besar. Tidak ada patokan utuk memasukkannya ke dalam dosa besar karena
memang bukan bagian darinya.
Namun bagi kita sebagai seorang mukmin
tidak boleh lantas meremehkan sebuah dosa dengan mengatakan bahwa ini
adalah dosa kecil, sebab dalam kondisi-kondisi tertentu dosa kecil dapat
berubah menjadi dosa besar. Dosa-dosa kecil akan berubah menjadi dosa
besar dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
Pertama: ishrar (terus menerus) dan muwazhabah (terbiasa)
Makna ishrar adalah ketagihan dalam melakukan kemaksiatan. Artinya kemaksiatan tersebut sering dilakukannya. Allah subhanahu wa ta’alaa
lebih cepat mengampuni dosa besar yang disudahi dan tidak diulangi lagi
dari pada dosa kecil yang dibiasakan dan terus menerus dilakukan
seseorang.
Kedua: meremehkan dosa
Seberapa peremehan seseorang terhadap dosa, maka dosa tersebut bertambah besar di sisi Allah ta’alaa. Dan setiap kali seseorang mengangggap besar sebuah dosa, maka dosa tersebut akan dipandang kecil oleh Allah ta’ala. Sebab, seseorang yang menganggap remeh sebuah dosa, tentu dalam hatinya tidak ada rasa pengagungan terhadap Allah ta’ala
serta tidak ada perhatian terhadap kekuasaan dan kemulian-Nya. Maka
balasannya adalah kebalikannya (yaitu dosa tersebut bernilai besar di
sisi Allah ta’ala).
Barang siapa memandang besar sebuah dosa sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah ta’ala dan perhatiannya terhadap kebesaran-Nya, maka kemaksiatannya akan menjadi kecil di sisi Allah ta’ala.
Sebab orang yang melakukan hal ini senantiasa akan memandang keagungan
kepada siapa ia berbuat kemaksiatan dan tidak melihat kepada kadar
kemaksiatannya. Berbeda halnya dengan yang pertama.
Ibnu Mas’ud berkata “Sesungguhya
orang mukmin itu melihat dosa-dosanya, seakan-akan dia sedang berada di
kaki gunung. Dia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan sesungguhnya
orang yang durhaka itu melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang
hinggap di hidungnya, lalu dia berkata, ‘cukup begini saja’.” maksudnya cukup dengan menepiskan tangannya.
Ketiga: Merasa bangga dengan perbuatan dosa dan mengharap pujian atas perbuatan tersebut.
Seharusnya seorang hamba itu merasa berada dalam musibah disebabkan ia dikalahkan oleh musuhnya dan karena jauh dari Allah ta’ala.
Bila seseorang yang berbuat maksiat merasakan manisnya perbuatan dosa
kecil, maka dosa tersebut akan menjadi dosa besar dan dampaknya pun juga
besar dalam membutakan hatinya.
Keempat: terang-terangan melakukan perbuatan dosa.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كل الناس معافى إلا المجاهرين يبيت أحدهم على ذنب قد ستره الله عليه فيصبح فيكشف ستر الله ويتحدث بذنبه
“Semua manusia yang berbuat dosa
akan diampuni, kecuali yang terang-terangan (melakukan dosa). Yaitu
salah seorang dari kalian melakukan dosa padahal Allah telah menutupi
aibnya, namun kemudian di pagi harinya ia membukanya dan
memperbincangkan dosanya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kelima: dosa tersebut muncul dari seorang alim yang dijadikan panutan.
Bila diketahui ada seorang alim yang
melakukan perbuatan dosa meskipun itu adalah dosa kecil maka akan
menimbulkan keburukan yang besar. Karena perbuatan dosa tersebut akan
dijadikan sebagai pembenaran dan akan ditiru oleh mereka yang memang
suka terhadap kemaksiatan. Tentu saja hal itu akan menimbulkan keburukan
yang sangat besar. Dalam sebuah hadits disebutkan:
من سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها لا ينقص من أوزارهم شيئا
“Barang siapa yang membuat contoh
yang buruk, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut dan dosa
orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (Muslim).
Ibnu Abbas mengatakan: “Kecelakaan
bagi orang alim yang memiliki pengikut. Ketika ia tergelincir dalam
kesalahan lantas ia rujuk kembali (dari kesalahannya tersebut) akan
tetapi para pengikutnya masih pergi membawa (meniru) kesalahan tersebut
ke segala penjuru.”
Bila seorang alim tergelincir dalam
sebuah dosa, maka hendaklah ia berusaha sebisa mungkin untuk
menyembunyikannya dari pandangan manusia dan tidak menampakkannya.
Sehingga tidak dijadikan alasan bagi orang lain untuk meremehkan
perbuatan dosa tersebut. Namun seorang alim berkewajiban untuk menjauhi
sebisa mungkin semua jenis dosa, baik yang besar maupun yang kecil.
Ya Allah, ampunilah kami dan terimalah
taubat kami, sesungguhnya engkau maha pengampun lagi maha penerima
taubat. Semoga Allah melimpah shalawat dan salam-Nya kepada penghulu
kami dan nabi kami Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Sumber: 1. Minhajul Qasidin, ibnu Qudamah
2. Kunci Istiqamah, Abdullah bin Sulaiman Al-‘Utayyiq
Oleh : Al-faqir ila ‘afwi rabbih Abu Hadfi Al-firdaus
No comments:
Post a Comment