Hal-Hal yang Dilarang Ketika Haid 2 |
|
Written by Administrator |
Wednesday, 23 May 2012 23:31 | Dibaca: 319 kali. |
1. Membaca Al-Qur’an
Apakah wanita yang sedang haid boleh
membaca Al-Qur’an? Pernahkah Saudariku mendengar pertanyaan ini? Atau
bahkan pertanyaan ini juga ada dalam benak Anda? Atau malah sering
mendengar pertanyaan seperti ini. Wa bil khusus dalam kajian-kajian
fikih wanita pada pembahasan haid, nifas dan istihadhah. Jawaban yang
diberikan pun sepertinya berbeda-beda, ada yang membolehkan dan ada pula
yang tidak membolehkan. Terkadang perbedaan masalah furu‘ seperti ini membuat para wanita kebingungan untuk memilih dibolehkan atau tidak. Apalagi bagi perempuan yang awwam dan
sudah ditanamkan sejak kecil, bahwa wanita yang sedang haid tidak
diperbolehkan untuk membaca Al-Qur’an. Pasti dia merasa tidak nyaman
ketika diminta untuk membaca Al-Qur’an di saat haid. Begitu juga
sebaliknya, bagi wanita yang sedari kecilnya sudah diberi pemahaman
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an, maka dia akan
biasa saja membaca Al-Qur’an walaupun sedang dalam keadaan haid.
Ada beberapa ulama yang tidak
memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an dan ada beberapa ulama yang
memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Adapun dalil-dalil jumhur
ulama yang tidak memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur‘an adalah
hadits dari Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu
‘Umar :
لاَتَقْرَأُ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ مِنَ القُرْآنِ شَيْئًا
“Wanita yang sedang haid dan orang yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.” (HR.At-Tirmidzi)
Tapi hadits ini derajatnya dhoif (lemah),
karena di dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat bernama
Ismail bin ‘Ayyas. Al-Baihaqi berkata : “Hadits ini perlu diperiksa
lagi. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, menurut keterangan yang sampai
kepadaku berkata : ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah
Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain
yang diriwayatkan, sedangkan Ismail adalah munkar haditsnya, apabila
(gurunya) berasal dari Hijaz dan Iraq.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz, maka hadits ini dhoif. (Lihat Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-SabiilI, karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani)
Jumhur ulama hadits bersepakat bahwa
sanad hadits ini lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil
untuk melarang wanita haid membaca Al-Qur’an.
Adapun pendapat-pendapat yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
- Hadits yang tidak memperbolehkan wanita haid dan orang yang sedang junub membaca Al-Qur’an adalah dhaif. Jadi tak mengapa apabila wanita haid membaca AL-Qur’an , karena haditsnya tidak shahih.
- Hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata : “ Aku
datang ke Makkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan thowaf
di Baitullah dan Sa’I antara Shofa dan Marwa. Aku memberitahu keadaanku
itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda :’Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang yang berhaji, kecuali thawaf di Ka’bah.” (HR.
Bukhari). Berdasarkan hadits ini, orang yang sedang haid boleh
melakukan apapun kecuali thawaf di Ka’bah ketika berhaji. Dan orang yang
berhaji itu berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.
Jadi, wanita yang haid tetap dibolehkan untuk membaca Al-Qur’an, baik itu dengan murajaah (mengulang hafalan) atau pun membaca Al-Qur’an untuk menghafal atau pun pembelajaran.
2. Memegang Mushaf Al-Qur’an
Dalam permasalahan memegang mushaf
juga terdapat perbedaan. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang
tidak memperbolehkan wanita haid memegang mushaf. Perbedaan pendapat itu
berasal dari perbedaan penafsiran surat Al-Waqiah ayat 79 :
لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
Ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan dhamir (kata ganti) hu dalam kata laa yamassuhu. Pendapat pertama, apabila dhamir hu yang dimaksud adalah Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfuzh.Maka maksud dari orang-orang yang disucikan di sini adalah malaikat. Maka wanita yang sedang haid boleh menyentuh mushaf Al-Qur’anyang ada di bumi.
Pendapat kedua, apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan
adalahorang-orang Islam. Karena semua orang Muslim suci dari
kemusyrikan dan kekufuran. Maka yang tidak boleh menyentuhnya adalah
orang-orang kafir yang tidak ber-Islam.
Pendapat ketiga, apabila dhamir hu yang dimaksud dalam laa yamassuhu adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Kemudian yang maksud dari orang-orang yang disucikan adalah
orang-orang yang suci dari hadats besar atau kecil. Oleh karena itu
orang-orang yang belum bersuci dari hadats besar atau kecil tidak
diperbolehkan memegang mushaf. Pendapat ketiga ini diperkuat
dengan hadits dari Abi Bakar bin Muhammad bin ’Amr bin Hazm dari
bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman yang di dalamnya terdapat tulisan :
لا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
”Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.“ (HR. Al-Atsram dan Daruquthni)
Sanad hadits ini dhaif , karena sebagian sanadnya dhaif dan sebagiannya riwayat shahifah (lembaran) yang tidak ada sanadnya. Namun Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill.
Dan pendapat yang keempat, apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan adalah orang-orang yang suci dari hadats besar. Maka wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an, tetapi diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur’an yang terjemahan atau ada tafsirnya.
Adapun pendapat-pendapat yang
memperbolehkan wanita haid menyentuh mushaf adalah ayat di atas kurang
sempurna untuk dijadikan dalil, kecuali setelah ditambah dengan ayat
sebelumnya, yaitu :
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ (79)
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia (77) pada kitab yang terpelihara (Lauhul
Mahfuzh) (78), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan
(79)”
Berdasarkan ayat-ayat di atas, mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa kata ganti hu pada kata laa yamassuhu di atas merujuk kepada kitab yang tersimpan di langit, yaitu Lauhul Mahfuzh. Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, yaitu kitab yang ada di langit. Sedangkan yang dimaksud dengan Al-Muthaharuun (orang-orang yang disucikan) adalah para malaikat.
Adh-Dhahak berkata :”Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad shalallahu ’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya. (Lihat Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari)
Hal ini diperkuat juga dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat ‘Aabasaa ayat 13-16 :
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16)
“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (13) yang ditinggikan lagi disucikan (14) di tangan para penulis (malaikat) (15) yang mulia lagi berbakti (16)
Dalam Naylul Author milik Imam Asy-Syaukani, Kitab Thoharoh, Bab Iijabi Al-Wudhu’ lii Ash-Sholati wa Ath-Thowaf wa massu Al-Mushaf disebutkan
:”Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan
seorang mukmin selamanya bukan orang yang najis, berdasarkan hadits
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam :
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
“Orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Maka kurang pas apabila arti (hamba)
yang disucikan adalah orang yang tidak junub, haid, atau pun orang yang
sedang berhadats. Karena orang Islam suci dan tidak najis, sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 28 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,“
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam juga
melarang bepergian membawa mushaf ke negeri musuh (kafir). Di samping
itu, lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut dalam bentuk isim maf’ul yaitu al-muthoharuun (orang-orang yang disucikan) bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu keduanya memiliki makna dan maksud yang berbeda.
Wanita yang sedang haid boleh membawa mushaf Al-Qur’an tanpa harus menyentuhnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa dia melihat wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an di dalam gendongannya :
وَكَانَ أَبُو وَائِلٍ يُرْسِلُ خَادِمَهُ وَهْىَ حَائِضٌ إِلَى أَبِى رَزِيْنٍ, فَتَأْتِيهِ بِالمُصْحَفِ فَتُمسِكُهُ بِعِلاَقَتِهِ
“Abu Wail mengutus pembantunya yang sedang haid menemui Abu Razi, kemudian dia membawa mushaf di dalam ikatan yang menghubungkan dengan keranjangnya (membawa barang yang digendong).” (HR. Bukhari)
Penulis lebih cenderung kepada
pendapat yang mengatakan bahwa orang yang junub dan wanita sedang haid
atau nifas diperbolehkan memegang mushaf yang ada terjemahnya atau ada tafsirnya. Sesuai dengan hadits tentang wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an digendongannya. Juga untuk menghormati mushaf Al-Qur’an
dengan tidak memegangnya secara langsung dalam keadaan junub, haid,
atau pun nifas, seperti menggunakan sarung tangan ketika menyentuh mushaf.
Nah, itulah hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang masih menjadi ikhtilaf di
kalangan jumhur ulama. Tetep nggak ada kan larangan wanita haid tidak
boleh memotong kuku, mencuci rambut, apalagi tidur siang?
Wallahu ta’ala a’lam
Sumber :
- Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
- Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Tamamu Al-Minah fii At-Ta’liiq alaa Fiqh As-Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Naylu Al-Author, Imam Asy-Syaukani
- Fiqhu Al-Mar’ah Al-Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin
- Darah Kebiasaan Wanita, Ustadzah Ainul Millah, Lc
By :EZYE
|
No comments:
Post a Comment