Friday 8 June 2012

Jangan Remehkan Dosa Kecil


Jangan_Remehkan_Dosa_Kecil_s.jpgDi antara ketentuan Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa yang berlaku atas segenap hamba-Nya adalah menjadikan mereka tempatnya berbuat kesalahan dan kekhilafan, serta tempat ketidak sempurnaan dan kekurangan. Hal tersebut berfungsi untuk menjelaskan sifat kurang pada makhluk dan sifat kesempurnaan bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, kebutuhan makhluk kepada-Nya dan ketidak butuhan Allah kepada mereka.
Meskipun demikian, Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa senantiasa membuka pintu kembali kepada-Nya, di kala mereka terjerumus ke dalam kemaksiatan dan kesalahan. Manusia sering kali melakukan kesalahan dan kekhilafan, lalu ia menyesal dan menangis. Karena penyesalan itu, ia berhak mendapatkan nikmat yang paling agung yaitu ampunan-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: “Sungguh mengagungkan perkara orang mukmin itu, Allah tidak menentukan (qadha) kecuali hal itu baik baginya”. (HR. Ahmad). “apakah ini termasuk qadha’ kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba?” beliau menjawab: ”ya, namun dengan syaratnya, berupa penyesalan, taubat, istighfar dan merasa berdosa di hadapan-Nya”.
Dosa yang dilakukan oleh manusia banyak jenis dan ragamnya, baik kemaksiatan jawarih maupun kemaksiatan yang dilakukan oleh hati mereka. Sebagian dari mereka segera menyesal dan bertaubat tatkala berbuat dosa, namun tidak jarang juga yang justru berbangga dengan kemaksiatan tersebut wal ‘iyyadzu billah. Ada yang menganggap dosa yang mereka perbuat begitu besar dan begitu menyesakkan dada meskipun itu adalah dosa kecil namun sebaliknya ada pula yang menganggap dosanya sebagai dosa yang kecil walaupun pada hakikatnya itu adalah termasuk dosa besar.
Sebenarnya kita tidak boleh memandang dan menganggap bahwa ini adalah dosa besar dan ini dosa kecil kemudian meremehkannya, yang harus dan mesti kita perhatikan adalah siapakah yang kita maksiati. Bilal bin Sa’d Rahimahullah berkata, ”janganlah kalian melihat kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah keagungan yang kamu durhakai”.
Dosa-dosa yang dilakukan oleh umat manusia memang tidak berada dalam satu tingkatan dan kandungan. Semua dosa dengan berbagai bentuk dan ragamnya kembali kepada dua hal:
Bentuk pertamakabaa-ir” (dosa-dosa besar), yaitu setiap dosa yang telah ditentukan “had”nya di dunia atau diancam di akhirat kelak.
Bentuk kedua adalah “shoghoo-ir” (dosa kecil), yaitu setiap dosa yang tidak masuk dalam kategori dosa besar. Tidak ada patokan utuk memasukkannya ke dalam dosa besar karena memang bukan bagian darinya.
Namun bagi kita sebagai seorang mukmin tidak boleh lantas meremehkan sebuah dosa dengan mengatakan bahwa ini adalah dosa kecil, sebab dalam kondisi-kondisi tertentu dosa kecil dapat berubah menjadi dosa besar. Dosa-dosa kecil akan  berubah menjadi dosa besar dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
Pertama: ishrar (terus menerus) dan muwazhabah (terbiasa)
Makna ishrar adalah ketagihan dalam melakukan kemaksiatan. Artinya kemaksiatan tersebut sering dilakukannya. Allah subhanahu wa ta’alaa lebih cepat mengampuni dosa besar yang disudahi dan tidak diulangi lagi dari pada dosa kecil yang dibiasakan dan terus menerus dilakukan seseorang.
Kedua: meremehkan dosa
Seberapa peremehan seseorang terhadap dosa, maka dosa tersebut bertambah besar di sisi Allah ta’alaa. Dan setiap kali seseorang mengangggap besar sebuah dosa, maka dosa tersebut akan dipandang kecil oleh Allah ta’ala. Sebab, seseorang yang menganggap remeh sebuah dosa, tentu dalam hatinya tidak ada rasa pengagungan terhadap Allah ta’ala serta tidak ada perhatian terhadap kekuasaan dan kemulian-Nya. Maka balasannya adalah kebalikannya (yaitu dosa tersebut bernilai besar di sisi Allah ta’ala).
Barang siapa memandang besar sebuah dosa sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah ta’ala dan perhatiannya terhadap kebesaran-Nya, maka kemaksiatannya akan menjadi kecil di sisi Allah ta’ala. Sebab orang yang melakukan hal ini senantiasa akan memandang keagungan kepada siapa ia berbuat kemaksiatan dan tidak melihat kepada kadar kemaksiatannya. Berbeda halnya dengan yang pertama.
Ibnu Mas’ud berkata “Sesungguhya orang mukmin itu melihat dosa-dosanya, seakan-akan dia sedang berada di kaki gunung. Dia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan sesungguhnya orang yang durhaka itu melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya, lalu dia berkata, ‘cukup begini saja’.” maksudnya cukup dengan menepiskan tangannya.
Ketiga: Merasa bangga dengan perbuatan dosa dan mengharap pujian atas perbuatan tersebut.
Seharusnya seorang hamba itu merasa berada dalam musibah disebabkan ia dikalahkan oleh musuhnya dan karena jauh dari Allah ta’ala. Bila seseorang yang berbuat maksiat merasakan manisnya perbuatan dosa kecil, maka dosa tersebut akan menjadi dosa besar dan dampaknya pun juga besar dalam membutakan hatinya.
Keempat: terang-terangan melakukan perbuatan dosa.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كل الناس معافى إلا المجاهرين يبيت أحدهم على ذنب قد ستره الله عليه فيصبح فيكشف ستر الله ويتحدث بذنبه
“Semua manusia yang berbuat dosa akan diampuni, kecuali yang terang-terangan (melakukan dosa). Yaitu salah seorang dari kalian melakukan dosa padahal Allah telah menutupi aibnya, namun kemudian di pagi harinya ia membukanya dan memperbincangkan dosanya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kelima: dosa tersebut muncul dari seorang alim yang dijadikan panutan.
Bila diketahui ada seorang alim yang melakukan perbuatan dosa meskipun itu adalah dosa kecil maka akan menimbulkan keburukan yang besar. Karena perbuatan dosa tersebut akan dijadikan sebagai pembenaran dan akan ditiru oleh mereka yang memang suka terhadap kemaksiatan. Tentu saja hal itu akan menimbulkan keburukan yang sangat besar. Dalam sebuah hadits disebutkan:
من سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها لا ينقص من أوزارهم شيئا
“Barang siapa yang membuat contoh yang buruk, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut dan dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (Muslim).
Ibnu Abbas mengatakan: “Kecelakaan bagi orang alim yang memiliki pengikut. Ketika ia tergelincir dalam kesalahan lantas ia rujuk kembali (dari kesalahannya tersebut) akan tetapi para pengikutnya masih pergi membawa (meniru) kesalahan tersebut ke segala penjuru.”
Bila seorang alim tergelincir dalam sebuah dosa, maka hendaklah ia berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikannya dari pandangan manusia dan tidak menampakkannya. Sehingga tidak dijadikan alasan bagi orang lain untuk meremehkan perbuatan dosa tersebut. Namun seorang alim berkewajiban untuk menjauhi sebisa mungkin semua jenis dosa, baik yang besar maupun yang kecil.
Ya Allah, ampunilah kami dan terimalah taubat kami, sesungguhnya engkau maha pengampun lagi maha penerima taubat. Semoga Allah melimpah shalawat dan salam-Nya kepada penghulu kami dan nabi kami Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Sumber: 1. Minhajul Qasidin, ibnu Qudamah
                2. Kunci Istiqamah, Abdullah bin Sulaiman Al-‘Utayyiq
Oleh : Al-faqir ila ‘afwi rabbih Abu Hadfi Al-firdaus

No comments:

Post a Comment